Powered By Blogger

Selasa, 16 November 2010

AKAD NIKAH


A.  Pendahuluan
      Pernikahan adalah suatu ikatan yang dapat menyatukan dua insan antara laki-laki dan wanita untuk hidup bersama. Tetapi untuk melaksanakan pernikahan, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Karena rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
      Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan, tetapi perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Tetapi semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan salah satunya yaitu akad nikah atau perkawinan.
      Pada kesempatan kali ini kami pemakalah diberikan kepercayaan untuk sedikit mengulas tentang rukun pernikahan dalam hal ini adalah akad nikah. Kami akan membahas tentang definisi, lafadz yang boleh digunakan dalam akad nikah dan dalam hal ini para ulama banyak mengeluarkan pendapat tentang hal tersebut dan hal-hal lain yang terkait dengan akad nikah.
      Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan baik dalam penulisan maupun pembahasan kami memohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk dapat memperbaiki makalah kami yang kami sadari penuh dengan kekurangan.
B.  Pembahasan
1.   Pengertian Akad Nikah
               Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. [1] Ijab adalah lafadz yang berasal dari wali atau orang yang mewakilinya, sedangkan qabul adalah lafadz yang berasal dari suami atau orang yang mewakilinya.
2.   Syarat Ijab Qabul
         Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[2] :
a.             Kedua mempelai sudah tamyiz.
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz, maka pernikahan tidak sah.
b.            Ijab qabulnya dalam satu majlis..
Yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qabul. Hal ini diperkuat di dalam KHI Pasal 27[3] bahwa ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak diselangi waktu. Hal ini juga didukung oleh Syafi’i dan Hanbali, sementara Maliki penyelingan yang sekedarnya, misalnya oleh khutbah nikah yang pendek tidak apa-apa. Sedangkan mazhab Hanafi[4] tidak mensyaratkan segera.
c.             Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab.
d.            Pihak-pihak yang melakukan aqad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya. Dikuatkan pula di dalam KHI Pasal 27 bahwa ijab dan qabul harus jelas sehingga dapat didengar.
3.   Lafadz Dalam Ijab Qabul
         Ibnu Taimiyah mengatakan, aqad nikah ijab kabulnya boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.
         Para Ulama Mazhab sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan menggunakan redaksi “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima” atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya.[5] Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak menggunakan redaksi fi’il madhi atau menggunakan lafadz selain nikah atau kawin.
         Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz at-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafadz al-ijarah (upah) atau al-‘ariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas. [6]
         Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafadz al-nikah dan al-zawaj. Juga dianggap sah dengan lafadz al-hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata tersebut di atas tidak dianggap sah.
         Sementara itu, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata dari lafadz al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu tidak sah.[7]
4.   Ijab Qabul Orang Bisu
         Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya. Tetapi Pengadilan Agama (Mesir) dalam pasal 28 menetapkan bahwa orang bisu yang bisa menulis, pernyataan dengan isyarat dianggap tidak sah.[8]
5.   Mendahulukan Pihak Perempuan Atau Laki-Laki
         Dalam akad nikah itu tidak disyaratkan harus mendahulukan salah satu pihak. Jadi mendahulukan pihak laki-laki atau perempuan itu sama saja (sah). Sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab fiqh dan andaikata salah satu akad tersebut tidak benar, maka dalam kitab Syarkhur Raudahh[9] diterangkan bahwa kesalahan dalam susunan kata-kata tidak merusakkan.
         Sesungguhnya kesalahan dalam redaksional selama tidak merusak pengertian yang dimaksud, seyogyanya disamakan dengan kesalahan dalam tata bahasa, sehingga tidak berpengaruh pada keabsahannya.
         Di dalam kitab mughni muhtaj pun dikatakan bahwa ijab boleh dilakukan oleh sang calon suami, sedangkan qabulnya diucapkan oleh wali sang mempelai wanita.








DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:
         Kencana, 2007.

 Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Penerjemah Moh. Tholib. Bandung:
         PT. Alma’arif, 1980.

Tim Redaksi. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: FOKUSMEDIA,
        2007.

Al-Jaziri, Abdur Rahman. Kitabul Fiqh Al-Arba’ah. Beirut: Daarul
        Fikr, 2003.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah,
        Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff. Jakarta: LENTERA, 2005.
Ahkamul Fuqaha : Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. Penerjemah,  
        M. Djamaluddin Miri. Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004.

Ibnu Khatib Asy-Syarbini, Syamsuddin Muhammad. Mughni Muhtaj.         
  Beirut: Daarul Ma’rifah, 1997.



[1]   Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2007). Hal. 61
[2]  Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah Jilid 6. (Bandung: PT. Alma’arif, 1980). Hal. 53
[3] Tim Redaksi  FOKUSMEDIA. Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007).  Hal. 13.
[4]  Abdur Rahman al-Jaziri. Kitabul Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah Juz 4. (Beirut: Daarul Fikr, 2003). Hal. 14.
[5]  Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: LENTERA, 2005). Hal. 309.
[6] Abdur Rahman al-Jaziri. Kitabul Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah Juz 4. (Beirut: Daarul Fikr, 2003). Hal. 13.
[7]  Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: LENTERA, 2005). Hal. 311.
[8]  Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2007). hal. 59.
[9]  Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004). Hal. 120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar