Powered By Blogger

Selasa, 16 November 2010

PIDANA TERORISME (PENDEKATAN FIKIH JINAYAH DAN KUHP)


A.  Pendahuluan
         Kejahatan atau kekerasan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan lihat, baik di media massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan masyarakat kita. Kejahatan adalah hal yang sulit dihilangkan dalam kehidupan, bahkan sejak zaman Rasulullah sampai para sahabat, tak terlepas dari adanya kejahatan yang timbul di zamannya. Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatur hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, tetapi tetap saja sulit untuk mencegah adanya kejahatan secara menyeluruh.
         Kabar terbaru dan yang hangat dibicarakan, khalayak serta media massa dan elektronik yaitu terorisme. Bentuk kejahatan masal yang mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu untuk memberantas danmencegah segala kemungkinan terjadinya tindakan terorisme.
         Pada kesempatan kali ini, pemakalah diberikan kepercayaan untuk membahas tentang “Pidana Terorisme (Pendekatan Fikih Jinayah dan KUHP)”.
         Pemakalah akan mencoba membahas, terutama tentang hukuman yang akan diberikan pada pelaku terorisme berdasarkan  ayat-ayat al-Qur’an yang sudah ada, dan dari undang-undang negara yang berpedoman pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
         Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan baik dalam penulisan maupun pembahasan, pemakalah memohon maaf yang sebesar-besarnya dan pemakalah menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk dapat memperbaiki makalah ini yang pemakalah sadari penuh dengan kekurangan.




B.  Pengertian Terorisme
         Berbagai pendapat pakar dan badan pelaksana yang menangani masalah terorisme, mengemukakan tentang pengertian terorisme secara beragam.
         Whittaker (2003) mengutip beberapa pengertian terorisme antara lain menurut Walter Reich yang mengatakan bahwa terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di kalangan masyarakat umum.[1]
         Pengertian lain yang dapat dikutip dari beberapa badan yang berwenang dalam menangani terorisme, adalah penggunaan kekerasan yang diperhitungkan dapat memaksa atau menakut-nakuti pemerintah-pemerintahan, atau berbagai masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan yang biasanya bersifat politik, agama atau ideologi.[2]
C.  Pidana Terorisme
Pidana tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari pelaku terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang dari sudut Fikih Jinayah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa dengan pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang pidananya telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
D.  Pidana Terorisme Dari Sudut Pandang Fikih Jinayah
  1. Baghyu (Pemberontakan)
         Terorisme dapat dikatagorikan sebagai pemberontakan, karena kenyataannya praktek terorisme mengancam keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu pemakalah memasukkan pidana pemberontakan ke dalam pidana terorisme.
         Kata al-baghyu artinya lalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut istilah ulama adalah orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.[3]
         Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan, hendaklah dihentikan penumpasan.[4] Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib karena dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.
         Yang menjadi dasar diancamnya pelaku makar atau pemberontakan atau al-baghyu tersebut adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi saw.
Allah swt. berfirman:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)
Nabi saw. bersabda dari Ibnu Umar:
من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنقه (مسلم)                                                                                                                 
Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila datang yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia.
Dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah sebagai berikut [5] :
         Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan tersebut dilakukan karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam memberikan penjelasan atau memperbaikinya.
         Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada lagi perlawanan.
         Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, untuk dapat menentukan hukuman terhadap pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan menjadi dua bentuk.
         Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.
         Kedua: pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah menghimbau terlebih dahulu untuk menyerah dan bertaubat, jika masih melawan maka pemerintah dapat memerangi mereka.



  1. Pembunuhan
         Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban, melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana pembunuhan.
         Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal dunia.[6] Hukuman yang akan dibahas adalah pembunuhan yang disengaja, karena melihat dari motif pelaku terorisme adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan kejahatan.
         Ancaman terhadap pembunuhan sengaja ada tiga bentuk, yaitu:
         Pertama: hukuman pokok, terhadap pembunuhan sengaja adalah qishash atau balasan setimpal. Karena pembunuhan ini mengakibatkan kematian, maka balasannya yang setimpal adalah kematian juga.(QS. Al-Baqarah: 178).
         Kedua: hukuman pengganti, hukuman ini dilaksanakan jika mendapat maaf dari kerabat yang terbunuh (QS. Al-Baqarah: 178), dengan memberikan 100 ekor unta.
         Ketiga: hukuman tambahan, baik qishash maupun diyat merupakan hak bagi kerabat si terbunuh, mereka dapat menuntut dan pula tidak menuntut. Namun hukuman tambahan ini merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan. Hukuman tambahan pertama adalah kafarah dalam bentuk memerdekakan budak. Bila tidak dapat melakukannya diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut (QS. An-Nisa: 92). Hukuman tambahan kedua adalah kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya.
  1. Penganiayaan atau Pencederaan
         Kejahatan terorisme menelan begitu banyak korban, tidak sedikit yang meninggal dunia, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami luka-luka, bahkan hingga cacat atau kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya akibat dari kejahatan terorisme tersebut. Maka di sini pun pemakalah mengambil pidana penganiayaan atau pencederaan masuk ke dalam pidana terorisme.
         Penganiayaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menganiaya atau mencederai orang lain.
         Para ulama fiqh[7] membagi kejahatan penganiayaan atau pencederaan ini kepada lima bentuk:
a.             Memotong bagian-bagian badan seperti tangan, telinga dan alat kelamin.
b.            Menghilangkan fungsi bagian-bagian badan seperti murusak pendengaran.
c.             Pelukaan di bagian kepala.
d.            Pelukaan di bagian tubuh lainnya.
e.             Di luar ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang tidak melukai.
Ancaman hukuman terhadap pelaku ada dua tingkat:
         Pertama: hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima bentuk penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah pada penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala yang sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan tulang.
         Kedua: hukuman pengganti, yaitu diyat yang jumlahnya berbeda antara kejahatan yang satu dengan yang lainnya. Ketentuan diyat untuk setiap bagian badan ini dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru yang dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ahmad bahwa barangsiapa yang membunuh orang mukmin dan cukup bukti, maka hukumannya adalah qishash, kecuali bila dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh. Pembunuhan diyatnya adalah 100 ekor unta. Bila hidung terpotong maka hukumannya adalah satu diyat, untuk dua mata hukumnya adalah satu diyat, untuk lidah satu diyat, untuk dua bibir satu diyat, untuk zakar satu diyat, untuk dua pelir satu diyat, untuk sulbi satu diyat, untuk satu kaki setengah diyat, untuk setiap anak jari dari jari kaki dan tangan 10 ekor unta, untuk sebuah gigi 5 ekor unta.
E.   Pidana Terorisme Dari Sudut Pandang KUHP
         Pidana terorisme telah diatur dalam KUHP tentang pidana terorisme, tetapi pemakalah hanya akan mengemukakan pasal-pasal yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kejahatan terorisme, sama halnya ketika pemakalah mengambil pidana terorisme dari sudut pandang Fikih Jinayah.
1.      BAB I  (KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA).[8]
Pasal 106:
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 107:
(1)         Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2)         Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 108:
(1)     Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
        1.    Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
        2.  Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.
(2)     Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
2.      BABVII (KEJAHATAN YANG MEMBAHAYAKAN KEAMANAN UMUM BAGI ORANG ATAU BARANG).[9]
Pasal 187
   Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
1.      Dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul  bahaya umum bagi barang;
2.      Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
3.      Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika karena perbutan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.
3.      BAB XIX (KEJAHATAN TERHADAP NYAWA). [10]
Pasal 338:
Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 340:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lan, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
4.      BAB XX (PENGANIAYAAN). [11]
Pasal 351:
(1)         Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)         Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3)         Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4)         Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5)         Percobaan untuk melakukan kejahatn ini tidak dipidana.
5.      BAB XXVII (MENGHANCURKAN ATAU MERUSAKKAN BARANG). [12]
Pasal 406:
(1)         Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)               Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
         Demikianlah pidana bagi kejahatan terorisme yang terdapat di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.


        





DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. Hukum-Hukum
Fiqh Islam.Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta : Kencana.,
            2005.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika,
            2007.
Al-Husaini, Abu Bakar, Imam Taqiyuddin. Kifayatul Akhyar.
            Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori.
            Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997.
Hendropriyono, Mahmud, Abdullah. Terorisme: Fundamen-
            talis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta : Kompas, 2009.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar
            Baru van Hoeve, 1999.

Soerodibroto, Soenarto. KUHP DAN KUHAP. Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 2003.




[1] A. M. Hendropriyono. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta: Kompas, 2009). hal. 25-26.
[2]  Ibid. hal. 27
[3]  Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini. Kifayatul Akhyar Jilid III. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997). hHal. 125.
[4] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001). hal. 478-479.
[5]  Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 315.
[6]  Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). hal. 25.
[7]  Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 269.
[8] Soenarto Soerodibroto, KUHP DAN KUHAP. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003) hal.79-80.
[9]  Ibid. hal. 111.
[10] Ibid. hal. 207.
[11] Ibid. hal. 212.
[12] Ibid. hal. 264.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar