Powered By Blogger

Selasa, 16 November 2010

Masalah-Masalah Kontemporer Dalam Pidana Islam


A.  Pendahuluan
      Kejahatan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan lihat, baik di media massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan masyarakat kita. Kejahatan adalah hal yang sulit dihilangkan dalam kehidupan, bahkan sejak zaman Rasulullah sampai para sahabat, tak terlepas dari adanya kejahatan yang timbul di zamannya. Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatur hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, tetapi tetap saja sulit untuk mencegah adanya kejahatan secara menyeluruh. Seiring berkembangnya zaman, timbul berbagai macam bentuk kejahatan dengan istilah dan motif yang beragam yang tidak termaktub di dalam nash.
      Banyak cara yang coba dilakukan, baik oleh pemerintah maupun para ulama untuk mengkaji hukuman apa yang dapat dijatuhi bagi pelaku kejahatan yang dalam al-Qur’an kejahatan tersebut tidak disebut secara rinci, walaupun banyak ayat-ayat yang dapat dikiaskan sebagai landasan untuk menjatuhi hukuman bagi si pelaku kejahatan.
      Pada kesempatan kali ini, kami pemakalah diberikan kepercayaan untuk membahas tentang tindak kejahatan yang marak terjadi di era modern seperti sekarang ini. Pada kesempatan ini kami akan membahas tindak kejahatan yang berhubungan dengan “Illegal Fishing, korupsi dan eksploitasi seksual serta pelaksanaan hukuman mati”.
      Kami akan mencoba membahas, terutama tentang hukuman yang akan diberikan pada pelaku tindak kejahatan berdasarkan  ayat-ayat al-Qur’an yang sudah ada, dan dari undang-undang negara yang berpedoman pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
      Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan baik dalam penulisan maupun pembahasan kami memohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk dapat memperbaiki makalah kami yang kami sadari penuh dengan kekurangan.

B.  Illegal Fishing
1.   Pengertian Illegal Fishing
Illegal Fishing secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau Aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.
Illegal Fishing juga bisa diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan[1] :
a.      Yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional;
c.      Yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
2.   Kegiatan Illegal Fishing
         Kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah :
a.             Penangkapan ikan tanpa izin.
b.            Penangkapan ikan dengan mengunakan  izin palsu.
c.             Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang.
d.            Penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin.
  1. Penyebab Illegal Fishing
         Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya praktek illegal fishing, di antaranya:
a.      Meningkat dan tingginya permintaan ikan. (DN/LN)
b.      Berkurang atau habisnya SDI di negara lain.
c.      Lemahnya armada perikanan nasional.
d.      Izin atau dokumen pendukung dikeluarkan lebih dari satu instansi.
e.      Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut.
f.       Lemahnya delik tuntutan dan putusan pengadilan.
g.      Belum ada visi yang sama aparat penegak hukum.
h.      Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan pidana.
4.   Hukuman Bagi Pelaku Illegal Fishing
         Dalam hukum Islam pelaku illegal fishing sama halnya dengan mencuri, karena mengambil sesuatu yang bukan hak dan dengan cara yang salah. Oleh karena itu akan dijatuhi hukuman qishash, yaitu potong tangan dan harus mengembalikan hasil curiannya. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. dan sabda Rasulullah saw.:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah:38)
عن عائشةَ رضي الله عنها قالتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم يَقْطَعُ السَّارِقُ فِي رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا                                                                                                                
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Katanya: Rasulullah saw. memotong tangan seseorang yang mencuri harta yang senilai satu perempat dinar ke atas.[2]
         Sedangkan di dalam KUHP berdasarkan pasal 84 ayat (1- 4) undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, sanksi tindak pidana “illegal fishing” adalah sebagai berikut :
1).     Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
2).     Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara dan atau bangunan yang dapat merugikan dan  atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu milliar dua ratus juta rupiah).
3)      Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, bertanggung jawab perusahaan perikanan, dan atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10      (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milliar rupiah).
4)      Pemilik perusahaan, pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milliar rupiah).
C.  Korupsi
1.   Pengertian Korupsi
               Istilah korupsi berasal dari kata latin corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.[3] Korupsi juga berasal dari kata Inggris corruption, artinya perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain.[4]
               Korupsi juga bisa diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan atau bersama-sama beberapa orang secara profesional yang berkaitan dengan kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan departemen atau instansi terkait.[5]
2.   Bentuk-Bentuk Korupsi
Pada dasarnya segala bentuk perbuatan korupsi dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu penyelewengan dana dan penyalahgunaan wewenang. Bentuk pertama, penyelewengan dana, dapat dirinci lagi dalam tiga bentuk penyelewengan, yaitu pengeluaran fiktif, manipulasi harga pembelian atau nilai kontrak, penggelapan dana atau pencurian langsung dari kas.
3.   Sumber-Sumber Korupsi
         Ada lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber perbuatan korupsi, yaitu proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang, bea dan cukai, perpajakan, pemberian izin usaha, serta pemberian fasilitas kredit.
         Dalam proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang, penyelewengan yang terjadi dapat menyangkut harga, kualitas dan komisi. Di bidang bea dan cukai, korupsi menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan administratif. Dalam perpajakan, korupsi terjadi pada proses penentuan besarnya pajak. Di bidang pemberian izin usaha dan pemberian fasilitas kredit perbankan, korupsi terjadi berupa penyelewengan komisi dan jasa dalam bentuk pungutan liar
4.   Kesulitan Memberantas Korupsi
         Banyak upaya pemberantasan korupsi berujung pada kegagalan. Telah banyak komisi atau badan yang dibentuk, namun kesemuanya tidak memberikan hasil yang diharapkan. Jeremy Pope[6] mengemukakan beberapa alasan mengapa korupsi tidak dapat diberantas :
a.      Kekuasaan terbatas pada kalangan atas.
b.      Tidak ada kemauan pada tingkat atas untuk memberantas korupsi.
c.      Janji-janji muluk.
d.      Upaya-upaya perubahan yang mengabaikan korupsi di tingkat atas dan hanya memusatkan diri pada korupsi “kelas teri”.
5.   Hukuman Bagi Koruptor
         Dalam hukum Islam klasik belum dikemukakan oleh para fuqaha tentang pidana korupsi. Tetapi dilihat dari asas pidana bahwa korupsi dan pencurian mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama merugikan sepihak. Perbedaan antara keduanya hanya dari teknis bukan prinsip. Atas dasar itu korupsi merupakan delik pidana ekonomi yang sanksi hukumannya dapat disamakan dengan pidana pencurian.
         Dalam hukum Islam seorang koruptor sama halnya dengan pelaku illegal fishing, hanya berbeda objek yang dicuinya saja, oleh karena itu seorang koruptor akan dijatuhi hukuman qishash, yaitu potong tangan dan harus mengembalikan hasil korupsinya. Dalil yang dipakai sama halnya dengan pelaku illegal fishing yaitu firman Allah swt. dan sabda Rasulullah saw.:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah:38)
عن عائشةَ رضي الله عنها قالتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم يَقْطَعُ السَّارِقُ فِي رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا                                                                                                                
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Katanya: Rasulullah saw. memotong tangan seseorang yang mencuri harta yang senilai satu perempat dinar ke atas.[7]
         Sedangkan hukuman bagi koruptor berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 2 yang berbunyi:
(1)     Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
(2)     Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Pasal 4 yang berbunyi:
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.[8]
D.  Eksploitasi Seksual
1.   Pengertian Eksploitasi Seksual
         Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
          Eksploitasi Seksual merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam memamfaatkan seseorang wanita sebagai sebuah obyek seks. [9]
2.   Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seksual
a.      Pelacuran, terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial di mana seorang wanita disediakan untuk tujuan-tujuan seksual.
b.      Pornografi,  berarti pertunjukan apapun dengan cara apa saja yang melibatkan wanita di dalam aktifitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh wanita demi tujuan-tujuan seksual.
c.      Perdagangan atau trafficking untuk menempatkan wanita dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti pelacuran dengan paksaan.
d.      Wisata seks, adalah eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan wanita-wanita.
3.   Penyebab Terjadinya Eksploitasi Seksual
Penyebab rentannya wanita menjadi korban eksploitasi seksual karena banyak faktor penyebab. Di antaranya karena penerimaan masyarakat, tradisi dan adat istiadat yang merugikan, diskriminasi, perilaku seksual dan mitos yang tidak bertanggung jawab, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), situasi gawat darurat atau bencana, situasi-situasi konflik, tinggal dan bekerja di jalanan, HIV/AIDS, konsumerisme, adopsi, hukum yang tidak layak dan korupsi, serta teknologi informasi dan komunikasi.
4.   Hukuman Bagi Pelaku Eksploitasi Seksual
         Eksploitasi seksual sama halnya dengan pemerkosaan, karena di dalamnya terdapat unsur pemaksaan dan pelakunya dapat dijatuhi had perzinahan, oleh karena itu pelaku eksploitasi harus dihukum berat, yaitu hukuman perbuatan zina dan hukuman ta’zir.[10]
         Hukuman bagi pelaku eksploitasi, kalau dapat dibuktikan, dikenakan hukuman cambuk seratus kali bila pelakunya belum pernah menikah serta ditambah hukuman ta’zir dan hukuman rajam (dilempar batu kerikil sampai mati) jika pelakunya sudah menikah.
         Sedangkan di dalam KUHP sendiri, hukuman bagi pelaku eksploitasi seksual sudah diatur dalam Pasal 37 bahwa setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[11]
E.  Pelaksanaan Hukuman Mati
      Pelaksanaan hukuman mati berdasarkan pada UU No. 2/Pnps/1964[12]. Meskipun dalam pelaksanaan di lapangan mungkin ada sedikit perbedaan, namun pada dasarnya sama.
1.   Persiapan Hukuman Mati
a.      Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri), dilaksanakan tidak di muka umum (oleh karena itu tidak boleh diliput media) dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
b.      Pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu putusan perkara, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali ditentukan lain.
c.      Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda dimana Pengadilan Negeri tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati
d.      Untuk pelaksanaan pidana mati Kapolda membentuk sebuah regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob). Selama pelaksanaan pidana mati mereka dibawah perintah Jaksa.
e.      Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa.
f.       Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.
g.      Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu (keinginan/pesan terakhir), maka dapat disampaikan kepada Jaksa tersebut.
h.      Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
2.   Pelaksanaan Pidana Mati
a.      Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
b.      Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
c.      Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian yang sudah disediakan. Dimana ada sasaran target di baju tersebut (Di Jantung).
d.      Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.
e.      Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Misalnya diikat pada tiang atau kursi.
f.       Setelah terpidana sudah berada dalam posisinya, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan. Jarak antara terpidana dengan Regu Penembak antara 5 sampai 10 meter.
g.      Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa menyuruh memulai pelaksanaan pidana mati.
h.      Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
i.       Apabila masih terlihat tanda-tanda kehidupan, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk menembak terpidana menggunakan pistol tepat di atas telinga terpidana. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk memastikan kematiannya.






DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islamt. Jakarta : Sinar Grafika,
         2009.

Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer.
         Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

 Akasyah, Dudi. dan Chairil A Adjis.Kriminologi Syariah. Jakarta:
         RMBOOKS, 2007.

Az-Zabidi, Imam. Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari. Penerjemah
        Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Ensiklopedi Nasional Indonesia. Bekasi: PT. Delta Pamungkas, 2004.

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2008

http://darmawanku.com/2008/08/04/tata-cara-pelaksanaan-hukuman-mati/

http://www.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/

http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=218

http://www.gugustugastrafficking.org/index.php

http://id.wikisource.org/wiki/Rancangan_UU_Republik_Indonesia_tentang_ Pornografi_(2008)


[1]   http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=218
[2]  Imam az-Zabidi. Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari. ( Jakarta: Pustaka Amani, 2002). Hal. 1038
[3]  http://www.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/
[4]   Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 9. (Bekasi: PT. Delta Pamungkas, 2004). Hal. 149
[5]   Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Hal. 71
[6]   Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi.    (Jakarta: RMBOOKS, 2007). Hal. 174
[7]  Imam az-Zabidi. Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari. ( Jakarta: Pustaka Amani, 2002). Hal. 1038
[8]   Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. (Jakarta: Rajawali Pers, 2008). Hal. 279
[9]  http://www.gugustugastrafficking.org/index.php



[10]   Huzaemah Tahido Yanggo. Fikih Perempuan Kontemporer. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010). hal. 29
[11]  http://id.wikisource.org/wiki/Rancangan_UU_Republik_Indonesia_tentang_Pornografi_(2008)
[12]   http://darmawanku.com/2008/08/04/tata-cara-pelaksanaan-hukuman-mati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar