Powered By Blogger

Selasa, 16 November 2010

HUTANG PIUTANG DAN GADAI


A.  Hutang Piutang (al-Qardh)
      1.   Pengertian dan Landasan Hukum
Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman.
Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah adalah “sesuatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.”[1]
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai pengertian yakni akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.[2]
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah dan merupakan jenis mu’amalah yang bercorak pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya qardh adalah al-Qur’an surat al-Hadid ayat 11: 
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
  1. Rukun dan Syarat al-Qardh
                  Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
a.         Muqridh (yang memberikan pinjaman).
b.         Muqtaridh (peminjam).
c.         Qardh (barang yang dipinjamkan)
d.         Ijab qabul
            Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
a.                   Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
b.                  Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
c.                   Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
3.      Larangan Meraih Keuntungan (Manfa’at) Melalui Qardh
            Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim, bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau tambahan kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.
            Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal tersebut telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh.[3]
            Fuqaha Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli dan utang piutang saja. Dalam hal utang piutang yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan masyarakat, baru boleh diterima.[4]
B.  Gadai (al-Rahn)
1.   Pengertian dan Dasar Hukum
            Secara etimologi, gadai (al-rahn) yaitu pemenjaraan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.[5] Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi al-rahn yang dikemukakan para ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Ulama  Hanafiyah mendefinisikannya dengan : Menjadikan sesuatu sebagai jaminan terhadap hak yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan : Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.[6]
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan adalah firman Allah swt. berikut:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang” (QS. Al-Baqarah: 283)
2.   Rukun Gadai
            Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
a.                   Lafadz ( ijab dan qabul )
b.                  Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
c.                   Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
d.                  Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
3.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai
            Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
            Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan pemilik barang.[7]
            Orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah Saw.
اِذَاارْتُهِنَ شَاةٌ شَرِبَ المُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا فَاِنِاسْتَفْضَلَ مِنَ اللَبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلْفِ فَهُوَ رِبَا[8]
Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang memegang gadaian itu boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya dar sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba.” (Riwayat Hammad bin Salmah)
C.  Kesimpulan
            Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang mempunyai tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan berupa materi, seperti uang.
            Sedangkan Rahn (gadai) tidak jauh berbeda dengan qardh, hanya dalam rahn ketika seseorang membutuhkan bantuan materi, seperti uang. Orang yang meminjam tadi memberikan barang berharga miliknya kepada orang yang meminjami uang tadi sebagai jaminan.
















DAFTAR PUSTAKA

Lathif, AH. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta
         Press, 2005.

 Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo
         Persada, 2008.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
        1992.

‘Azhim, ‘Abdul. Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz.
        Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
        Progressif, 2002


[1]   AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 150
[2]   Ibid
[3]   AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 153
[4]   Ibid
[5]   Hendi Suhendi. Fiqh Muamalht. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008). Hal. 105
[6]   AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 154
[7]   AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Hal. 156-157
[8]   Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003). Hal. 311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar