Powered By Blogger

Minggu, 31 Oktober 2010

“AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL”


A.  Pengertian Al-Qur’an
         Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, dari akar kata qara’a yang berarti “membaca”. Al-Qur’an adalah bentuk masdar (verbal noun) yang diartikan sebagai isim maf’ul, yaitu maqru, berarti “yang dibaca”.[1]
         Menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an berarti kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.[2]
         Muhammad Khudhari Beik dalam kitab Ushul Fiqh (1989:207) mengatakan bahwa Al-Qur’an yaitu lafazdnya mempergunakan bahasa Arab yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bahan penelitian dan peringatan yang dinukil dengan cara mutawatir serta Al-Qur’an terdiri dari dua tepi yang dimulai dengan Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas.
         Abdul Wahab Khallaf (1989:23) memberikan definisi Al-Qur’an yaitu kalam Allah yang diturunkan dengan perantara Jibril ke dalam hati Rasul, lafazdnya dengan bahasa Arab dan seluruh kandungan artinya pasti benar untuk menjadi hujjah terhadap kerasulannya, agar dijadikan undang-undang sebagai pedoman hidup manusia serta membacanya adalah ibadah.
B.  Otentisitas Al-Qur’an
               Kemutawatiran al-Qur’an (keberuntunan) al-Qur’an itu terjadi dari generasi ke generasi. Nabi menghafal dan membacakan al-Qur’an dihadapan Jibril, kemudian para sahabat ra. Menghafal al-Qur’an sebagaimana yang mereka terima dari Nabi SAW. Pemeliharaan al-Qur’an selanjutnya dilakukan para tabi’in. Para tabi’in mempunyai semangat yang kuat untuk menghafal dan menerima al-Qur’an secara langsung dari para sahabat, meskipun pada masa sahabat al-Qur’an telah ditulis. Hal ini terjadi pada setiap generasi setelah zaman sahabat dan tabi’in. Ini bukti nyata firman Allah:  
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”(QS. Al-Hijr: 9)
         Kemutawatiran itu telah menjadikan al-Qur’an yang qath’I (pasti). Sementara itu setiap sanad mutawatir (berjalan secara beruntun) sehingga tidak mungkin diragukan lagi keabsahannya.
C.  Fungsi dan Tujuan Turunnya al-Qur’an
         Sebagai kitab terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir, al-Qur’an berfungsi sebagai :
a.             Penjaga kitab-kitab sebelumnya.
“Dan Kami menurunkan kepada engkau kitab dengan kebenaran, membetulkan apa yang ada sebelumnya di antara kitab-kitab suci, dan sebagai penjaga terhadap itu.”(QS. Al-Ma’idah: 48)
b.            Hakim tentang apa yang diperselisihkan.
“Demi Allah, Kami telah mengutus para rasul kepada umat sebelum engkau, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk). Maka setan menjadi pemimpin mereka pada hari itu, dan bagi mereka azab yang pedih. Dan kami tidak menurunkan kitab kepada engkau kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.”(QS. Al- Nahl: 63-64)

c.             Menghapus hukum syariat kitab-kitab terdahulu.
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, pasti Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengan itu”.(QS. Al-Baqarah: 106)
         Muhammad Rasyid Ridha[3] menyebutkan sepuluh poin di antara tujuan diturunkannya al-Qur’an, yaitu:
a.             Menjelaskan hakikat rukun agama.
b.            Memberi informasi kepada manusia apa yang mereka tidak ketahui dari persoalan kenabian, kerasulan dan tugas-tugas mereka.
c.             Menyempurnakan jiwa manusia, masyarakat, dan komunitas manusia.
d.            Memperbaiki kehidupan sosial politik manusia.
e.             Menetapkan keutamaan agama Islam.
f.              Menerangkan ajaran Islam tentang kehidupan politik.
g.             Memberi petunjuk tentang perbaikan ekonomi.
h.             Memperbaiki sistem peperangan dan perdamaian.
i.               Mengangkat derajat dan memberikan hak-hak penuh dalam kehidupan manusia, dalam beragama dan peradaban kepada wanita.
j.              Memerdekakan budak.
Menurutnya, kesepuluh maksud al-Qur’an ini merupakan penjabaran dari tiga ajaran pokok al-Qur’an, yang menganjurkan umat manusia untuk mengembangkan: (1) pendidikan; (2) ilmu pengetahuan; dan (3) filsafat, seperti terkandung di dalam surah al-Jumu’ah ayat 2:  
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka (yuzakkihim) dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(QS.Al-Jumu’ah:2)

         Dia menafsirkan ayat di atas, bahwa yuzakkihim mengandung arti pendidikan dengan perbuatan dan keteladanan, al-kitab mengandung arti tulisan, bacaan, yang memuat ilmu pengetahuan, dan al-hikmah mengandung arti ilmu yang bermanfaat yang dapat membangkitkan perbuatan-perbuatan yang salih, dalam bahasa sekarang disebut “filsafat”.[4]
D.  Mukjizat al-Qur’an
         Al-Qur’an adalah mu’jizat Nabi SAW. Kemu’jizatan di sini bersifat ma’nawi (abstrak), bukan sebagai mu’jizat yang bersifat madiy (fisik). Mu’jizat Nabi Muhammad tidak berupa kejadian fisik sebagaimana mu’jizatnya para nabi terdahulu, karena mu’jizat Nabi Muhammad bersifat universal bagi seluruh manusia hingga akhir zaman, andaikan mu’jizat Nabi bersifat fisik mana mungkin bisa kekal hingga akhir zaman, sedangkan sang pemilik mu’jizat sudah wafat terlebih dahulu.
         Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya Ushul al-Fiqh mengatakan ada empat bentuk kemu’jizatan al-Qur’an yang pernah diungkapkan oleh para ulama :
         Pertama: Kebalaghahan al-Qur’an (segi keindahan bahasa al-Qur’an). Kefasihan lafazh-lafazh al-Qur’an sungguh tiada tara, uslub bahasanya yang demikian indah dan mengagumkan , kadangkala ia bernada keras sehingga menggetarkan perasaan dan denyut jantung. Dan kadangkala bernada halus bagaikan darah segar yang mengalir cepat di dalam jiwa.
         Kedua: Pemberitaan al-Qur’an tentang keadaan yang terjadi pada abad-abad yang silam. Al-Qur’an telah menceritakan tentang nabi-nabi, kaum-kaum terdahulu dan sebagainya. Berita-berita itu semuanya benar, sesuai dengan yang terdapat dalam buku-buku kaum ahli kitab.[5]
         Ketiga: Pemberitaan al-Qur’an tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa datang. Salah satunya pemberitahuan al-Qur’an mengenai kekalahan bangsa Persia setelah lebih dulu bangsa Romawi yang kalah. Allah berfirman:
“Alif laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi Di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi.”(QS.Ar-Ruum: 1-4)
         Keempat: Kandungan al-Qur’an yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seorang ummiy yang tidak pandai membaca dan menulis. Seperti dinyatakannya bahwa langit dan bumi itu dulunya berasal dari satu gumpalan, kemudian terjadi ledakan yang membuatnya terpecah-pecah menjadi beberapa planet. Allah berfirman:  
“Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman.”(QS.Al-Anbiya: 30)

         Apa yang disebutkan di atas adalah sebagian dari segi kemu’jizatan al-Qur’an. Al-Qur’an juga memiliki nilai kemu’jizatan yang hanya disebutkan para ulama melalui isyarat, yakni syariat yang terkandung di dalamnya. Di antaranya ialah hukum tentang halal, haram dan sebagainya yang menjadi pedoman bagi manusia.
E.   Ibarat al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
         Dalam menetapkan hukum-hukum syara’, al-Qur’an menggunakan bermacam-macam bentuk ibarat. Di antaranya ialah sebagai berikut:
a.      Bentuk perintah, seperti firman Allah :
“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”(QS.At-Thalaq:2)
b.      Bentuk larangan, seperti firman Allah yang berbunyi :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”(QS.Al-Isra : 33)
c.      Dengan menetapkan, bahwa suatu perbuatan itu diwajibkan difardhukan. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
“Diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”(QS.Al-Baqarah : 178)
d.      Menyebutkan larangan, dengan meniadakan kebaikan dalam suatu perbuatan. Sebagaimana firman Allah :
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.”(QS.Al-Baqarah : 189)
e.      Bentuk perintah dengan menyebutkan akibat dari suatu perbuatan, baik berupa pahala maupun siksa. Misalnya firman Allah sesudah menjelaskan hukum waris, yang berbunyi :  
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”(QS.An-Nisa : 13-14)

         Bagi setiap mujahid yang menggali hukum dari al-Qur’an harus memperhatikan bentuk-bentuk ungkapan di atas. Setiap perbuatan yang dipuji oleh Allah atau dijanjikan pahala, maka perbuatan tersebut diperintahkan. Sebaliknya, jika diancam dengan siksa, maka perbuatan tersebut dilarang. Sedang perbuatan yang tidak dipuji atau dicela, tidak dijanjikan pahala atau diancam siksa, bahkan disebut dengan kata-kata halal, maka perbuatan tersebut adalah diperbolehkan.
F.   Penjelasan al-Qur’an Terhadap Hukum
         Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dalam menjelaskan hukum-hukum, melalui beberapa prinsip dan cara, antara lain sebagai berikut :
a.             Prinsip menghilangkan kesempitan dan menolak kepayahan.
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS.Al-Baqarah: 286)
b.            Tidak memberatkan dengan bermacam-macam hukum yang dapat menimbulkan kebosanan dan kejemuan. 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(QS.Al-Maidah: 101)

c.             Al-Qur’an dalam menetapkan hukum dengan cara berangsur-angsur. Seperti cara-cara penetapan hukum khamer dan perjudian.
Mula-mula turun ayat :
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia.”(QS.Al-Baqarah: 219)
Tahapan kedua turun ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”(QS.An-Nisa: 43)
Tahapan yang ketiga dipertegas oleh Allah:
 
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah: 90)

G.  Hukum yang Terkandung dalam al-Qur’an
         Ada tiga macam hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, yaitu:
a.             Hukum i’tiqadiah, yaitu yang bersangkutan apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhirat.
b.            Hukum khulqiah, yaitu yang bersangkutan dengan apa yang diwajibkan kepada mukallaf. Moral, budi pekerti, adab sopan santun dan menjauhkan diri dari sikap yang tercela.
c.             Hukum amaliah, yaitu yang bersangkutan dengan apa yang bersumber dari segala macam tindakan. Hukum amaliah di dalam al-Qur’an mengatur dua hal. Pertama hukum ibadat. Kedua hukum mu’amalat.
Abdul Wahhab Khallaf memerinci macam hukum-hukum mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai berikut:
         Pertama, hukum ahwalul syakhsyiah, yang bersangkutan dengan keluarga. Tercatat sekitar 70 ayat.
         Kedua, hukum mahduniah, yang bersangkutan dengan mu’amalah pribadi. Bertujuan mengatur hubungan pribadi yang bersangkutan dengan harta benda. Terdiri dari 70 ayat.
         Ketiga, hukum jinayat, yang bersangkutan dengan tindakan kejahatan dan hukumannya. Tercatat sekitar 30 ayat.
         Keempat, hukum murafi’at, yang bersangkutan dengan hukum, saksi dan sumpah. Sekitar 13 ayat.
         Kelima, hukum dusturiah, yang bersangkutan dengan peraturan hukum dan asal-usulnya. Sekitar 10 ayat.
         Keenam, hukum dauliah, yang bersangkutan dengan pergaulan negara Islam dengan yang bukan Islam. Dan pergaulan orang yang bukan muslim di dalam negara Islam. Sekitar 25 ayat.
         Ketujuh, hukum iqtishadiah wal maliah, yang bersangkutan dengan hak-hak fakir miskin dari harta orang-orang kaya. Sekitar 10 ayat.
H.  Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Fiqih
Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib menegaskan :
Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hukum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria dan Reza, Muhammad, ed. Ushul Fiqh. Jakarta :
          Kencana, 2008.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Penerjemah Saefullah
         Ma’shum, dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.

 Khallaf, Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fikh. Penerjemah Halimuddin
         Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2005.

Shihab, M. Quraish, ed.. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.  Jakarta:
         Pustaka Firdaus, 2008.

Hasanuddin. Ushul Fiqih. IAIN Sunan Gunung Djati Serang, 1992


























[1]  Muhammad ‘Abd. Al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 43-47.
[2]   Satria Efendi dan Muhammad Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 79.
[3] M. Quraish Shihab, ed. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 58
[4] Baca Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy al-Muhammadi, Kairo: al-Zahra li al-I’lam al-Arabi, 1988
[5]   Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. Penerjemah Saefulluh Ma’shum,dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 110.

“KEBANGKITAN KEMBALI FIQIH ISLAM (ABAD 18 & 19)”


A.     Pendahuluan
      Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, fiqih Islam bangkit kembali.
      Kebangkitan kembali fiqih Islam timbul sebagai reaksi  terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru diantaranya gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah.
B.  Pembahasan Fiqih Islam dan Kodifikasi Hukum Fiqih
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh Islam, dan kedua, kodifikasi fiqh Islam.
Dua hal inilah yang akan dibahas pada kesempatan berikut ini.
  1. Pembahasan Fiqih Islam
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut:
1.   Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain.
2.   Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik.
3.   Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi.
4.   Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih. Beberapa contoh kreativitas di bidang ini :
      a).  Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M.
      b).  Kantor Pusat Urusan Islam, di bawah koordinator Kementrian Waqaf Mesir.
      c).  Ensiklopedi fiqih di Kuwait.
      d).  Ensiklopedi fiqih di Mesir.
b.   Kodifikasi Hukum Fiqih
      Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor.[1]
      Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
1.      Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
2.      Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik.
a).  Permulaan Kodifikasi
      Upaya pengkodifikasian sudah muncul sejak awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari Al-Qur’an dan sunah.[2] Ketika tidak ada nash cukup dengan ijtihad.
      Usulan Ibnu Muqaffa’ tidak mendapat sambutan pada saat itu, karena para fuqaha’ enggan untuk memikul beban taqlid, dan mereka cemas dan ragu-ragu, karena mereka bukan membuat undang-undang buatan manusia, tetapi syariat yang turun dari langit.
b).  Titik Tolak Kodifikasi (Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah)
      Sebuah kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata).
      Kodifikasi ini disusun di bawah pimpinan Ahmad Jaudat Basya. Lembaga ini bekerja pada tahun 1286 H sampai 1292 H. Setelah tujuh tahun, lahirlah Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah.
      Pada bulan Sya’ban 1292 H. Sultan mengeluarkan surat perintah untuk menerapkan isi kompilasi ini dalam semua pengadilan Turki dan semua negara yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Turki Usmaniah.
c).  Kandungan Al-Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah
      Kitab kompilasi ini memuat 1815 pasal membahas berbagai hukum terhadap permasalahan yang masih diperdebatkan, terdiri dari 16 bab, dari bab jual beli sampai bab tuntutan dan keputusan hakim.[3]
      Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Mustafa Ahmad Az-Zarqa[4], yang mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fikih:
  1. Munculnya upaya pengkodifikasian fikih sesuai dengan tuntutan  situasi dan zaman.
  2. Upaya pengkodifikasian fikih semakin luas,bukan saja di wilayah yuridiksi kerajaan turki usmani, tetapi juga di wilayah- wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak.
  3. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fikih tertentu.
C.  Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
      Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356).[5] Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
1.   Muhammad Abduh
      Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir. Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.[6]
      Muhammad Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam. Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki dan menerima perubahan.
      Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju. Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu. Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
      Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat:                       .  أفلا يعقلون  ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
      Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan
2.   Syeikh Muhammad As-Sirhindi
      Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
      Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a).  Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b).  Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c).  Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)      Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e).  Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).   Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g).  Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.
3.   Sayyid Ahmad Syahid
      Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.[7]
      Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a).  Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b).  Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c).  Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
      Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar[8]. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.
      Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.

D.  Kesimpulan
      Kebangkitan fiqih ditandai oleh dua aspek, yaitu :
1.      Pembahasan fiqih Islam, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih komparasi, dan Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.
2.      Kodifikasi hukum fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata ). Kitab kompilasi ini memuat 1815 pasal, terdiri dari 16 bab.
      Tokoh-tokoh yang berjasa dalm kebangkitan fiqih Islam, mereka adalah;  Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad As-Sirhindi, Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.



DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta :
          Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam. Jakarta : PT.
         RajaGrafindo Persada, 2009.

 Ash-Shalabi, Ali Muhammad. Fikih Kemenangan dan Kejayaan.
         Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta:
         PT. Bulan Bintang, 1992.

Khalil, Rasyad Hasan. Sejarah Legislasi Hukum Islam.
            Penerjemah Nadirsyah Hawari,  Jakarta: AMZAH, 2009.




[1] Rasyad Hasan Khalil. Sejarah Legislasi Hukum Islam. (Jakarta: AMZAH, 2009). hal. 134
[2] Ibid. hal. 135
[3]  Ibid. hal. 137
[4] Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). hal. 339
[5] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada ,2009), hal. 197
[6] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1992). hal. 58
[7] Ibid. hal. 156
[8] Ibid. hal. 158

ANEKA CARA PEMBEDAAN HUKUM


Segala sesuatu yang dibatasi oleh waktu dan tempat pada dasarnya dapat dipelajari untuk diperbandingkan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari yang dibandingkan itu. Aneka cara pembedaan hukum diantaranya yang dibedakan adalah antara pasangan-pasangan hukum sebagai berikut:
A.     Ius Constitutum dan Ius Constituendum
a.       Ius contitutum adalah hukum positif suatu Negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara pada suatu saat tertentu.
b.      Ius contituendum adalah hukum yang dicita-citakan ole pergaulan hidup dan Negara, tetapi belum merupakan kaidah dalam bentk undang-undang atau berbagai ketentuan lain.
B.     Hukum Alam dan Hukum Positif
a.       Hukum alam
Hukum alam adalah ekspresi dari kegiatan manusia yang mencari keadilan sejati yang mutlak
b.   Hukum positif
Hukum positif atau stellingrecht, merupakan suatu kaidah yang berlaku sebenarnya merumuskan suatu hubungan yang pantas antara hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputuan-keputusan.
c.       Hukum positif, hukum alam dan keadilan
               Hukum positif adalah suatu penyusunan terhadap hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan atas kuasa masyarakat itu, dan berlaku untuk masyarakat itu hukum positif itu terbatas menurut waktu dan tempat.
         Letak perbedaan dengan hukum alam adalah norma-normanya tidak ditetapkan oleh manusia, akan tetapi norma-norma itu bersifat ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan di luar manusia, norma-norma itu bersifat kekal dan abadi.
Didalam De iure belli ac pacis, prolegomena, ps. VII oleh hugo de Groot dirumuskan empat (4) norma dasar didalam hukum alam:
1.      Kita harus menjauhkan diri daripada harta benda kepunyaan orang lain.
2.            Kita harus mengembalikan harta benda kepunyaan orang lain yang berada didalam tangan kita, beserta hasil daripada harta benda orang yang telah kita kecap.
3.            Kita harus menepati perjanjian-perjanjian kita.
4.            Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh salah kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.
Dari keempat norma itu ternyata bahwa norma dasar itu merupakan norma-norma kesusilaan kemasyarakatan.
                  Perkataan alam atau kodrat didalam hukum alam tergolong kepada hukum alam didalam arti yang luas, hukum alam didalam arti yang sempit adalah penyelidikan secara empiris daripada gejala-gejala didalam alam yang materiil yang mengelilingi kita yakni sekedar alam itu tertangkap oleh panca indera kita.  
                        Kita dapat membeda-bedakan dua aliran didalam ajaran hukum alam menurut arti yang dipertalikan dengan perkataan ”kodrat”yakni:
            a.      Hukum alam menurut kodrat manusia
            b.      Hukum alam menurut kodrat hukum
                     Ahli-ahli filsafat hukum, yang hendak mengartikan”kodrat” didalam istilah ”hukum alam” sebagai ”kodrat manusia” sangatlah mementingkan mempelajari kodrat manusia, berdasarkan kodrat manusia itu, norma-norma hukum alam dapatlah disipatkan (menurut pendapat mereka).
            a. Hugo de groot (1583-1645) mempertahankan bahwa kodrat manusia terkandung didalam pengertian. Appetitus socialis (kecenderungan supaya manusia berteman).
            b. Thomas hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa homo-homini lupus (manusia bertindak terhadap sesama manusia sebagai binatang liar), bila masyarakat tidak di kuasai oleh hukum maka hidup manusia merupakan kekacauan abadi dan semua manusia senantiasa akan menyerang semua manusia (belium omnium contra omnes).
            c.   Christian Thomasius (1655-1728) menekankan bahwa ketiga jenis lapangan norma-norma yang disipatkannya (hukum, kesusilaan dan politik) hanya mempunyai suatu maksud yang sama ialah untuk memajukan kebahagian manusia.
            d.   David Hume (1711-1776) menekankan bahwa kesadaran kesusilaan manusia menentukan sikapnya terhadap hukum.
Akhirnya dapatkah orang mempersamakan keadilan dengan hukum alam? Keadilan tidak dapat menentukan isi hukum positif secara madi. Keadilan hanya mempunyai kadar zahiri, ialah sebagai nilai yang mutlak, sebagai dasar konstitutif, dan taraf pertimbangan untuk hukum positif.
Sebaliknya, hukum alam mempunyai arti yang madi, norma-normanya mempunyai isi tertentu, dengan norma-norma itu dibebankan kewajiban-kewajiban dan diberikan hak-hak kepada manusia justru mengenai perhubungan dengan orang-orang yang lain. Keadilan tidak dapat memerintahkan perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia, dan yang harus diabaikannya, dasar keadilan sebagai nilai yang mutlak, hanya dapat menentukan apakah suatu perbuatan yang tertentu sesuai atau bertentangan dengan keadilan, ialah baik atau buruknya perbuatan itu. Sebaliknya hukum alam dapat memerintahkan dengan tegas perbuatan-perbuatan yang manakah, secara madi harus kita lakukan dan abaikan.
  1. Hukum Positif dan Ilmu Hukum
      Ilmu hukum sebagai suatu gabungan di mana tergabung beberapa jenis ilmu, yang masing-masing mempersoalkan hukum positif, akan tetapi masing-masing juga dari sudut yang berlainan.
      Bellefroid berpendirian bahwa ilmu hukum meliputi:
a.       Ilmu hukum dogmatis, yang menerangkan arti kaidah-kaidah hukum dan menyusun kaidah-kaidah itu ke dalam suatu tata tertib hukum.
b.      sejarah hukum, mempersoalkan sistem-sistem hukum di masa yang lampau yang turut membentuk dan menentukan isi hukum positif pada masa sekarang.
c.       Perbandingan hukum, memperbandingkan tertib-tertib hukum positif yang berlaku pada suatu masa.
d.      Politik hukum, menyelidiki tuntutan-tuntutan sosial yang hendak diperhatikan oleh hukum.
e.       Teori umum tentang hukum, hendak mempersoalkan pengertian-pengertian dan asas-asas dasar yang diketemukan di dalam setiap tertib hukum positif.
Mr. W. Zevenbergen mengemukakan pendapat yang berbeda, ia mengatakan bahwa ilmu hukum terdiri atas:
a.       Dogmatik hukum, memerikan hukum positif.
b.      Sejarah hukum, menyelidiki perkembangan suatu tertib hukum positif yang tertentu dari awal-awalnya.
c.       Perbandingan hukum, membandingkan segala atau beberapa jenis tertib hukum satu dengan yang lain.
d.      Filsafat hukum, yang menentukan dengan cara bagaimana hukum dapat dikenali secara logis.
e.       Politik hukum, mempersoalkan hal-hal manakah dan dengan cara bagaimanakah harus diatur di dalam hukum.
C.  Hukum Imperatif dan hukum Fakultatif
Hukum imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a priori harus ditaati, sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara a priori harus ditaati atau tidak a priori wajib untuk dipatuhi,
Dalam karya Purnadi purbacaraka dan Soerjono soekanto ”Aneka cara pembedaan hukum” (1980) telah ditunjukkan beberapa hal yang penting didalam pembedaan pasangan hukum yang imperatif dan yang fakultatif yaitu ciri-ciri hukum fakultatif keduanya dalam hubungan dengan hukum publik dan hukum perdata, dan perumusan hukum imperatif dalam undang-undang yang akan menjelaskan tujuan pembedaan kedua pasangan hukum yang imperatif dan yang fakultatif.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian
a.   Pada hukum fakultatif, pembentukan undang-undang juga memberi perintah seperti halnya pada hukum imperatif. Hanya sifat perintahnya yang berbeda, maka perintah tersebut lebih banyak diartikan sebagai petunjuk, sehingga perintah ini langsung ditunjukkan kepada penegak hukum, berbeda dengan hukum imperatif yang juga secara langsung tertuju kepada pribadi-pribadi.
b.   Dalam hubungan dengan hukum publik dan hukum perdata. Dari perbedaan sifat antara hukum yang imperatif dan yang fakultatif secara garis besar dan pada umumnya, hukum publik relatif bersifat imperatif, sedangkan hukum perdata bersifat fakultatuf, sekalipun dalam hukum perdata ada yang bersifat imperatif.
Namun sifat hukum publik tetap lebih imperatif karena umumnya kaidah-kaidah hukum publik bersifat hubungan antara penguasa-penguasa dengan pribadi-pribadi, sehungan dengan perlindungan kepentingan umum yang berorientasi pada kesejahteraan bersama warga masyarakat.
c.   Dalam persoalan pembedaan antara hukum yang bersifat impertatif dan fakultatif ini tercermin  bahwa hukum secara luas dan mendalam berusaha mewujudkan keadilan sejati, ia memaksa secara a priori bila diperlukan bagi kepentingan umum, namun untuk hal-hal tetentu apabila tidak sejalan dengan keadaan nyata bisa fakultatif.
D.  Hukum Substantif dan Hukum Ajektif
Pembedaan antara hukum substantif dan hukum ajektif terletak pada yang satu memberi petunjuk, dalam hal ini substantif dijelaskan oleh ajektif sehingga perumusnnya adalah sebagai berikut:
a. Hukum substantif adalah rangkaian kaidah yang merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum yang terkait dalam hubungan hukum.
b. Hukum ajektif adalah serangkaian kaidah yang memberi petunjuk dengan jelas tentang bagaimana kaidah-kaidah materil dari hukum substantif ditegakkan.
Maka keduanya adalah komplementer yang saling mengisi ini berarti pula bahwa hukum subjektif adalah hukum materil, sedangkan hukum ajektif adalah hukum formil.
E.   Hukum Tidak Tertulis dan Tertulis
a.   Hukum tak tertulis
         Hukum tidak tertulis adalah juga kebiasaan, salah satu contoh hukum tak tertulis adalah hukum adat indonesia. Hukum tidak tertulis ini merupakan hukum yang tertua, namun ada perbedaan yang essensial yakni pada hukum tidak tertulis didukung oleh teori-teori kesadaran hukum yang dipengaruhi oleh mashab sejarah yang ditokohi oleh von savigny.  
b.   Hukum tertulis
       Hukum tertulis atau geschreven recht, adalah hukum yang mencakup perundang-undangan dalam berbagai bentuk yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan traktat yang dihasilkan dari hubungan hukum internasional.
c.   Hukum tercatat
    Kembali pada hukum tidak tertulis perlu sedikit dijelaskan bahwa ada hukum tidak tertulis yang benar-benar tidak pernah ditulis sama sekali, ada pula hukum tak tertulis yang tercatat. Mengenai hukum tercatat yang tidak termasuk sebagai hukum tertulis lebih jelas pelajari Purnadi Purbacaraka- soerjono soekanto, ”Aneka cara pembedaan hukum” alumni bandung, 1980.

Daftar Pustaka:
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo
         Persada, 1983.