Powered By Blogger

Minggu, 31 Oktober 2010

“AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL”


A.  Pengertian Al-Qur’an
         Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, dari akar kata qara’a yang berarti “membaca”. Al-Qur’an adalah bentuk masdar (verbal noun) yang diartikan sebagai isim maf’ul, yaitu maqru, berarti “yang dibaca”.[1]
         Menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an berarti kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.[2]
         Muhammad Khudhari Beik dalam kitab Ushul Fiqh (1989:207) mengatakan bahwa Al-Qur’an yaitu lafazdnya mempergunakan bahasa Arab yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bahan penelitian dan peringatan yang dinukil dengan cara mutawatir serta Al-Qur’an terdiri dari dua tepi yang dimulai dengan Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas.
         Abdul Wahab Khallaf (1989:23) memberikan definisi Al-Qur’an yaitu kalam Allah yang diturunkan dengan perantara Jibril ke dalam hati Rasul, lafazdnya dengan bahasa Arab dan seluruh kandungan artinya pasti benar untuk menjadi hujjah terhadap kerasulannya, agar dijadikan undang-undang sebagai pedoman hidup manusia serta membacanya adalah ibadah.
B.  Otentisitas Al-Qur’an
               Kemutawatiran al-Qur’an (keberuntunan) al-Qur’an itu terjadi dari generasi ke generasi. Nabi menghafal dan membacakan al-Qur’an dihadapan Jibril, kemudian para sahabat ra. Menghafal al-Qur’an sebagaimana yang mereka terima dari Nabi SAW. Pemeliharaan al-Qur’an selanjutnya dilakukan para tabi’in. Para tabi’in mempunyai semangat yang kuat untuk menghafal dan menerima al-Qur’an secara langsung dari para sahabat, meskipun pada masa sahabat al-Qur’an telah ditulis. Hal ini terjadi pada setiap generasi setelah zaman sahabat dan tabi’in. Ini bukti nyata firman Allah:  
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”(QS. Al-Hijr: 9)
         Kemutawatiran itu telah menjadikan al-Qur’an yang qath’I (pasti). Sementara itu setiap sanad mutawatir (berjalan secara beruntun) sehingga tidak mungkin diragukan lagi keabsahannya.
C.  Fungsi dan Tujuan Turunnya al-Qur’an
         Sebagai kitab terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir, al-Qur’an berfungsi sebagai :
a.             Penjaga kitab-kitab sebelumnya.
“Dan Kami menurunkan kepada engkau kitab dengan kebenaran, membetulkan apa yang ada sebelumnya di antara kitab-kitab suci, dan sebagai penjaga terhadap itu.”(QS. Al-Ma’idah: 48)
b.            Hakim tentang apa yang diperselisihkan.
“Demi Allah, Kami telah mengutus para rasul kepada umat sebelum engkau, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk). Maka setan menjadi pemimpin mereka pada hari itu, dan bagi mereka azab yang pedih. Dan kami tidak menurunkan kitab kepada engkau kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.”(QS. Al- Nahl: 63-64)

c.             Menghapus hukum syariat kitab-kitab terdahulu.
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, pasti Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengan itu”.(QS. Al-Baqarah: 106)
         Muhammad Rasyid Ridha[3] menyebutkan sepuluh poin di antara tujuan diturunkannya al-Qur’an, yaitu:
a.             Menjelaskan hakikat rukun agama.
b.            Memberi informasi kepada manusia apa yang mereka tidak ketahui dari persoalan kenabian, kerasulan dan tugas-tugas mereka.
c.             Menyempurnakan jiwa manusia, masyarakat, dan komunitas manusia.
d.            Memperbaiki kehidupan sosial politik manusia.
e.             Menetapkan keutamaan agama Islam.
f.              Menerangkan ajaran Islam tentang kehidupan politik.
g.             Memberi petunjuk tentang perbaikan ekonomi.
h.             Memperbaiki sistem peperangan dan perdamaian.
i.               Mengangkat derajat dan memberikan hak-hak penuh dalam kehidupan manusia, dalam beragama dan peradaban kepada wanita.
j.              Memerdekakan budak.
Menurutnya, kesepuluh maksud al-Qur’an ini merupakan penjabaran dari tiga ajaran pokok al-Qur’an, yang menganjurkan umat manusia untuk mengembangkan: (1) pendidikan; (2) ilmu pengetahuan; dan (3) filsafat, seperti terkandung di dalam surah al-Jumu’ah ayat 2:  
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka (yuzakkihim) dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(QS.Al-Jumu’ah:2)

         Dia menafsirkan ayat di atas, bahwa yuzakkihim mengandung arti pendidikan dengan perbuatan dan keteladanan, al-kitab mengandung arti tulisan, bacaan, yang memuat ilmu pengetahuan, dan al-hikmah mengandung arti ilmu yang bermanfaat yang dapat membangkitkan perbuatan-perbuatan yang salih, dalam bahasa sekarang disebut “filsafat”.[4]
D.  Mukjizat al-Qur’an
         Al-Qur’an adalah mu’jizat Nabi SAW. Kemu’jizatan di sini bersifat ma’nawi (abstrak), bukan sebagai mu’jizat yang bersifat madiy (fisik). Mu’jizat Nabi Muhammad tidak berupa kejadian fisik sebagaimana mu’jizatnya para nabi terdahulu, karena mu’jizat Nabi Muhammad bersifat universal bagi seluruh manusia hingga akhir zaman, andaikan mu’jizat Nabi bersifat fisik mana mungkin bisa kekal hingga akhir zaman, sedangkan sang pemilik mu’jizat sudah wafat terlebih dahulu.
         Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya Ushul al-Fiqh mengatakan ada empat bentuk kemu’jizatan al-Qur’an yang pernah diungkapkan oleh para ulama :
         Pertama: Kebalaghahan al-Qur’an (segi keindahan bahasa al-Qur’an). Kefasihan lafazh-lafazh al-Qur’an sungguh tiada tara, uslub bahasanya yang demikian indah dan mengagumkan , kadangkala ia bernada keras sehingga menggetarkan perasaan dan denyut jantung. Dan kadangkala bernada halus bagaikan darah segar yang mengalir cepat di dalam jiwa.
         Kedua: Pemberitaan al-Qur’an tentang keadaan yang terjadi pada abad-abad yang silam. Al-Qur’an telah menceritakan tentang nabi-nabi, kaum-kaum terdahulu dan sebagainya. Berita-berita itu semuanya benar, sesuai dengan yang terdapat dalam buku-buku kaum ahli kitab.[5]
         Ketiga: Pemberitaan al-Qur’an tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa datang. Salah satunya pemberitahuan al-Qur’an mengenai kekalahan bangsa Persia setelah lebih dulu bangsa Romawi yang kalah. Allah berfirman:
“Alif laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi Di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi.”(QS.Ar-Ruum: 1-4)
         Keempat: Kandungan al-Qur’an yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seorang ummiy yang tidak pandai membaca dan menulis. Seperti dinyatakannya bahwa langit dan bumi itu dulunya berasal dari satu gumpalan, kemudian terjadi ledakan yang membuatnya terpecah-pecah menjadi beberapa planet. Allah berfirman:  
“Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman.”(QS.Al-Anbiya: 30)

         Apa yang disebutkan di atas adalah sebagian dari segi kemu’jizatan al-Qur’an. Al-Qur’an juga memiliki nilai kemu’jizatan yang hanya disebutkan para ulama melalui isyarat, yakni syariat yang terkandung di dalamnya. Di antaranya ialah hukum tentang halal, haram dan sebagainya yang menjadi pedoman bagi manusia.
E.   Ibarat al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
         Dalam menetapkan hukum-hukum syara’, al-Qur’an menggunakan bermacam-macam bentuk ibarat. Di antaranya ialah sebagai berikut:
a.      Bentuk perintah, seperti firman Allah :
“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”(QS.At-Thalaq:2)
b.      Bentuk larangan, seperti firman Allah yang berbunyi :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”(QS.Al-Isra : 33)
c.      Dengan menetapkan, bahwa suatu perbuatan itu diwajibkan difardhukan. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
“Diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”(QS.Al-Baqarah : 178)
d.      Menyebutkan larangan, dengan meniadakan kebaikan dalam suatu perbuatan. Sebagaimana firman Allah :
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.”(QS.Al-Baqarah : 189)
e.      Bentuk perintah dengan menyebutkan akibat dari suatu perbuatan, baik berupa pahala maupun siksa. Misalnya firman Allah sesudah menjelaskan hukum waris, yang berbunyi :  
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”(QS.An-Nisa : 13-14)

         Bagi setiap mujahid yang menggali hukum dari al-Qur’an harus memperhatikan bentuk-bentuk ungkapan di atas. Setiap perbuatan yang dipuji oleh Allah atau dijanjikan pahala, maka perbuatan tersebut diperintahkan. Sebaliknya, jika diancam dengan siksa, maka perbuatan tersebut dilarang. Sedang perbuatan yang tidak dipuji atau dicela, tidak dijanjikan pahala atau diancam siksa, bahkan disebut dengan kata-kata halal, maka perbuatan tersebut adalah diperbolehkan.
F.   Penjelasan al-Qur’an Terhadap Hukum
         Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dalam menjelaskan hukum-hukum, melalui beberapa prinsip dan cara, antara lain sebagai berikut :
a.             Prinsip menghilangkan kesempitan dan menolak kepayahan.
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS.Al-Baqarah: 286)
b.            Tidak memberatkan dengan bermacam-macam hukum yang dapat menimbulkan kebosanan dan kejemuan. 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(QS.Al-Maidah: 101)

c.             Al-Qur’an dalam menetapkan hukum dengan cara berangsur-angsur. Seperti cara-cara penetapan hukum khamer dan perjudian.
Mula-mula turun ayat :
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia.”(QS.Al-Baqarah: 219)
Tahapan kedua turun ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”(QS.An-Nisa: 43)
Tahapan yang ketiga dipertegas oleh Allah:
 
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah: 90)

G.  Hukum yang Terkandung dalam al-Qur’an
         Ada tiga macam hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, yaitu:
a.             Hukum i’tiqadiah, yaitu yang bersangkutan apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhirat.
b.            Hukum khulqiah, yaitu yang bersangkutan dengan apa yang diwajibkan kepada mukallaf. Moral, budi pekerti, adab sopan santun dan menjauhkan diri dari sikap yang tercela.
c.             Hukum amaliah, yaitu yang bersangkutan dengan apa yang bersumber dari segala macam tindakan. Hukum amaliah di dalam al-Qur’an mengatur dua hal. Pertama hukum ibadat. Kedua hukum mu’amalat.
Abdul Wahhab Khallaf memerinci macam hukum-hukum mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai berikut:
         Pertama, hukum ahwalul syakhsyiah, yang bersangkutan dengan keluarga. Tercatat sekitar 70 ayat.
         Kedua, hukum mahduniah, yang bersangkutan dengan mu’amalah pribadi. Bertujuan mengatur hubungan pribadi yang bersangkutan dengan harta benda. Terdiri dari 70 ayat.
         Ketiga, hukum jinayat, yang bersangkutan dengan tindakan kejahatan dan hukumannya. Tercatat sekitar 30 ayat.
         Keempat, hukum murafi’at, yang bersangkutan dengan hukum, saksi dan sumpah. Sekitar 13 ayat.
         Kelima, hukum dusturiah, yang bersangkutan dengan peraturan hukum dan asal-usulnya. Sekitar 10 ayat.
         Keenam, hukum dauliah, yang bersangkutan dengan pergaulan negara Islam dengan yang bukan Islam. Dan pergaulan orang yang bukan muslim di dalam negara Islam. Sekitar 25 ayat.
         Ketujuh, hukum iqtishadiah wal maliah, yang bersangkutan dengan hak-hak fakir miskin dari harta orang-orang kaya. Sekitar 10 ayat.
H.  Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Fiqih
Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib menegaskan :
Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hukum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria dan Reza, Muhammad, ed. Ushul Fiqh. Jakarta :
          Kencana, 2008.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Penerjemah Saefullah
         Ma’shum, dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.

 Khallaf, Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fikh. Penerjemah Halimuddin
         Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2005.

Shihab, M. Quraish, ed.. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.  Jakarta:
         Pustaka Firdaus, 2008.

Hasanuddin. Ushul Fiqih. IAIN Sunan Gunung Djati Serang, 1992


























[1]  Muhammad ‘Abd. Al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 43-47.
[2]   Satria Efendi dan Muhammad Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 79.
[3] M. Quraish Shihab, ed. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 58
[4] Baca Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy al-Muhammadi, Kairo: al-Zahra li al-I’lam al-Arabi, 1988
[5]   Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. Penerjemah Saefulluh Ma’shum,dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar