Powered By Blogger

Minggu, 31 Oktober 2010

“KEBANGKITAN KEMBALI FIQIH ISLAM (ABAD 18 & 19)”


A.     Pendahuluan
      Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, fiqih Islam bangkit kembali.
      Kebangkitan kembali fiqih Islam timbul sebagai reaksi  terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru diantaranya gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah.
B.  Pembahasan Fiqih Islam dan Kodifikasi Hukum Fiqih
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh Islam, dan kedua, kodifikasi fiqh Islam.
Dua hal inilah yang akan dibahas pada kesempatan berikut ini.
  1. Pembahasan Fiqih Islam
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut:
1.   Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain.
2.   Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik.
3.   Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi.
4.   Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih. Beberapa contoh kreativitas di bidang ini :
      a).  Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M.
      b).  Kantor Pusat Urusan Islam, di bawah koordinator Kementrian Waqaf Mesir.
      c).  Ensiklopedi fiqih di Kuwait.
      d).  Ensiklopedi fiqih di Mesir.
b.   Kodifikasi Hukum Fiqih
      Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor.[1]
      Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
1.      Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
2.      Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik.
a).  Permulaan Kodifikasi
      Upaya pengkodifikasian sudah muncul sejak awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari Al-Qur’an dan sunah.[2] Ketika tidak ada nash cukup dengan ijtihad.
      Usulan Ibnu Muqaffa’ tidak mendapat sambutan pada saat itu, karena para fuqaha’ enggan untuk memikul beban taqlid, dan mereka cemas dan ragu-ragu, karena mereka bukan membuat undang-undang buatan manusia, tetapi syariat yang turun dari langit.
b).  Titik Tolak Kodifikasi (Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah)
      Sebuah kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata).
      Kodifikasi ini disusun di bawah pimpinan Ahmad Jaudat Basya. Lembaga ini bekerja pada tahun 1286 H sampai 1292 H. Setelah tujuh tahun, lahirlah Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah.
      Pada bulan Sya’ban 1292 H. Sultan mengeluarkan surat perintah untuk menerapkan isi kompilasi ini dalam semua pengadilan Turki dan semua negara yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Turki Usmaniah.
c).  Kandungan Al-Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah
      Kitab kompilasi ini memuat 1815 pasal membahas berbagai hukum terhadap permasalahan yang masih diperdebatkan, terdiri dari 16 bab, dari bab jual beli sampai bab tuntutan dan keputusan hakim.[3]
      Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Mustafa Ahmad Az-Zarqa[4], yang mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fikih:
  1. Munculnya upaya pengkodifikasian fikih sesuai dengan tuntutan  situasi dan zaman.
  2. Upaya pengkodifikasian fikih semakin luas,bukan saja di wilayah yuridiksi kerajaan turki usmani, tetapi juga di wilayah- wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak.
  3. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fikih tertentu.
C.  Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
      Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356).[5] Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
1.   Muhammad Abduh
      Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir. Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.[6]
      Muhammad Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam. Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki dan menerima perubahan.
      Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju. Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu. Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
      Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat:                       .  أفلا يعقلون  ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
      Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan
2.   Syeikh Muhammad As-Sirhindi
      Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
      Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a).  Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b).  Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c).  Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)      Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e).  Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).   Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g).  Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.
3.   Sayyid Ahmad Syahid
      Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.[7]
      Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a).  Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b).  Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c).  Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
      Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar[8]. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.
      Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.

D.  Kesimpulan
      Kebangkitan fiqih ditandai oleh dua aspek, yaitu :
1.      Pembahasan fiqih Islam, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih komparasi, dan Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.
2.      Kodifikasi hukum fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata ). Kitab kompilasi ini memuat 1815 pasal, terdiri dari 16 bab.
      Tokoh-tokoh yang berjasa dalm kebangkitan fiqih Islam, mereka adalah;  Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad As-Sirhindi, Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.



DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta :
          Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam. Jakarta : PT.
         RajaGrafindo Persada, 2009.

 Ash-Shalabi, Ali Muhammad. Fikih Kemenangan dan Kejayaan.
         Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta:
         PT. Bulan Bintang, 1992.

Khalil, Rasyad Hasan. Sejarah Legislasi Hukum Islam.
            Penerjemah Nadirsyah Hawari,  Jakarta: AMZAH, 2009.




[1] Rasyad Hasan Khalil. Sejarah Legislasi Hukum Islam. (Jakarta: AMZAH, 2009). hal. 134
[2] Ibid. hal. 135
[3]  Ibid. hal. 137
[4] Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). hal. 339
[5] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada ,2009), hal. 197
[6] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1992). hal. 58
[7] Ibid. hal. 156
[8] Ibid. hal. 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar